Siang itu sepulang kerja di hari sabtu saya melewati
jalan yang biasa dilalui. Tenggorokan rasanya kering, ingin rasanya melepas
dahaga. Ketika melihat gerobak bertuliskan ‘Liang Teh’, saya pun memutuskan
untuk menepi.
1 gelas saya pesan kepada ibu penjual dan saya habiskan saat itu juga. Merasa kurang memuaskan dahaga dan rasanya kok cukup menarik, saya memesan 1 gelas lagi. Sang ibu dengan senang hati melayani.
1 gelas saya pesan kepada ibu penjual dan saya habiskan saat itu juga. Merasa kurang memuaskan dahaga dan rasanya kok cukup menarik, saya memesan 1 gelas lagi. Sang ibu dengan senang hati melayani.
“Liang teh ini campurannya teh sama apa, Bu?”
“Oh, liang teh ini bukan terbuat dari teh, Mas. Liang
teh terbuat dari daun cincau, akar alang-alang, dan bunga seruni. Emang gimana
rasanya mas, enak?”
“Oh, saya kira terbuat dari teh. Rasanya enak. Ada aroma
herbalnya, beda banget pokoknya dengan teh manis biasa.”
Saya berpikir akan sangat menjanjikan sekali bisnis
ini bila dijual di tempat yang tepat. Sayang sekali bila dijual di pinggir jalan
yang tidak terlalu ramai, omset ibu itu pasti tidak terlalu besar, mana cukup
untuk menghidupi seluruh keluarganya? Saat saya tengah mengobrol dengan sang
ibu datanglah seorang laki-laki menyapa saya. penampilannya kurang bersih,
seperti habis bekerja jadi tukang bangunan.
“Mau pulang, Mas?”
“Iya, Pak. Bapak mau pesan Liang Teh juga?”
“Nggak mas, saya bisa minta bikinin sama istri saya kalau
mau.”
“Oh jadi itu istri bapak. Kalau istri bapak yang
berjualan, aktivitas bapak apa?” Tanya saya penasaran.
“Saya berjualan balon via online, Mas. Saya supply balon ke toko dan
perusahaan-perusahaan yang akan mengadakan event.”
“Wah, hebat. Sudah lama, bapak berjualan balon ini?”
“Baru 1 tahun. Dulu saya kerja di Jakarta Pusat, Mas.
Gaji sudah mencukupi, nyampe 7 juta per bulan. Tapi saya bosan bekerja sama
orang, saya pengen usaha sendiri. Akhirnya saya memutuskan untuk resign,” terang bapak itu.
Saya tersentak, tak menyangka ia rela
meninggalkan pekerjaan dengan gaji besar demi ingin berjualan balon.
“Lalu gimana dengan istri bapak? Apa dia merestui bapak
keluar dari pekerjaan?”
“Dia malah yang mensupport saya untuk memiliki usaha
sendiri. Dia sendiri pun memiliki keinginan serupa, bosan katanya jadi ibu
rumah tangga. Akhirnya dia memutuskan untuk berjualan Liang Teh.”
Omset bapak dengan istri gimana? Lebih besar mana
saat masih kerja dengan sekarang?” ini pertanyaan yang dari tadi sangat ingin
saya ajukan.
“Memilih jalan hidup menjadi seorang wirausaha harus
siap menanggung risikonya, Mas. Risiko tidak menerima gaji di akhir bulan, tapi
kita sendiri bisa menentukan gaji kita setiap hari berapa. Selain itu ada hal yang
tidak bisa diukur dengan materi: waktu luang yang kita punya untuk dihabiskan
dengan keluarga. Kalau saya masih kerja kayak dulu, mana mungkin siang-siang
gini saya dapat ketemu istri saya?”
Dalam hati saya meminta maaf, di awal saya telah underestimate terhadap mereka berdua. Ternyata
banyak hal yang telah mereka lalui. Bapak itu pernah merasakan nikmatnya
menjadi pekerja kantoran, lalu kini ia mengajak istrinya untuk menjalani
wirausaha. Memang benar, berwirausaha tidak hanya untuk mengejar kebebasan
finansial, tapi juga kebebasan waktu bersama orang-orang yang dicintai.
0 Response to "Belajar dari Segelas Liang Teh"
Posting Komentar